ADVERTISEMENT

Just Me Asia berdialog dengan Bambang Asrini Wijanarko, seorang pekerja kreatif, kurator  seni berbagai ajang seperti  Jakarta International Biennale XIV “Maximum City” 2011, UOB Painting of the Year 2018, termasuk juri CMNP Mural Competition 2018, yang dilaksanakan untuk menyambut Asian Games 2018.

“Seni sebagai bagian dari gerakan kolektif untuk menyuarakan isu-isu strategis dalam perubahan sosial lewat komunitas-komunitas seni,” kata Bambang.

Bagaimana dunia seni rupa Indonesia saat ini?

Dunia seni rupa Indonesia cukup progres, terutama kemampuan aksebilitas/ jejaring ke galeri komersil internasional, yayasan seni rupa global, dan museum representasional dari seluruh penjuru dunia.  Seniman-seniman juga telah mengglobal sejak dua dekade belakangan.  Selain itu industri seni mulai menggeliat ditandai gelaran gelaran art fair dan tetap terselenggaranya ajang Biennale usai pandemi.

Bagaimana dengan Jakarta?

Jakarta tetap menjadi “episentrum” baik wacana  maupun industri seni Indonesia. Jakarta bisa menjadi sebuah “kanvas raksasa” yang mempresentasikan pluralitas ekspresi seni dari berbagai “mazhab seni global” sekaligus sebuah ciri dari kota kosmopolitan yang publik bisa mengakses hajatan berbagai peristiwa seni dan kebudayaan. Seniman tinggal memiilih. Ekspresi seninya beragam dan menyesuaikan, baik untuk industri, untuk diskursus, untuk eksperimentasi.

Jakarta Art Movement yang Anda gagas melalukan kegiatan mural?

Ini komunitas seni saya sejak 2010. Sebuah kelompok yang cair dan terbuka yang bisa bermitra dan berkolaborasi dengan kelompok atau instiusi seni dan non seni manapun. Kami selalu merespon isu apa pun terkait dengan kehidupan urban, hal-hal mendesak yang perlu segera direspon yang menjadi urgensi di tingkat nasional pun global. Seperti tentang lingkungan hidup dan kedaulatan pangan. Misalnya, proyek seni mural—dengan karakternya yang lebih terbuka dan mudah dipahami publik awam . Ini adalah sebuah upaya kampanye membangun kesadaran tentang kerawanan dan kewaspadaan pangan kami bekerja sama dengan Badan Pangan Nasional dan Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 2022 lalu.

Apa yang bisa dilakukan untuk memajukan seni rupa?

Semua pihak bertanggung jawab dan selayaknya bersiap berkolaborasi.  Baik pemerintah, badan independen—pengelola pendanaan, sektor privat/ galeri dan pelaku personal seni: seniman, kurator, art dealer dan lain-lain. Contohnya ada satu komunitas seni dari Jakarta yang berkolaborasi dengan para pengrajin membuat instalasi raksasa

Bagaimana melihat dunia seni dan digital?

Dunia digital tentunya bukan ancaman, namun sebagai satu elemen penting mengekspolrasi kemungkinan-kemungkinan menemukan ekspresi seni dengan bantuan medium terkini. Intinya teknologi itu membantu bukan menemukan gagasan-gagasan dari mesin namun dari kesadaran seniman tentang dunianya.

Bisakah seni rupa Indonesia didigitalisasi dan berupa apa?

Seluruh objek/artefak- budaya jelas bisa didigitalisasi. Persoalan yang muncul bagaimana sebuah narasi dibangun di dunia digital dan bagaimana  paradigma seni digital itu disampaikan pada publik seni di Indonesia.

Literasi digital ini untuk kebutuhan diskursus seni, contohnya masih kurang dieksplorasi di dunia digital tentang seni dan berbagai fenomena urban. Sedikit seniman yang mengeksekusinya, narasi tentang itu minim, karya2 yang banyak dieksibisi2

Apa pendapat Anda tentang Artifical Intelligence?

AI adalah anak kandung dari teknologi, yang muaranya: ilmu pengetahuan. Kecanggihannya ada pada proses Analisa dari sepanjang sejarah manusia yakni, Big data.  AI itu adalah mitra terintim manusia untuk memilah, mengkalkulasi dan memilih informasi di dunia digital untuk membantu manusia menuntaskan tugas-tugasnya. Yang selalu beresiko sebaliknya satu saat kecerdasan buatan manusia bisa mencapai titik kesadaran dan justu menguasai manusia.

AI itu mentransimisi kecerdasan manusia kecuali tingkat kesadarannya. Jika satu saat mesin bisa “sadar” ya pastinya dia tidak membantu malah menolak perintah manusia

Berkesadaran itu adalah: kenapa kita hidup sebagai manusia dan untuk apa tujuan hidup sesuai mati? Kenapa datang empati? Kenapa harus mencintai dalam hidup? Sebab apa dan untuk apa kita berkuasa dan berguna bagi manusia lain sesudah berkuasa.

Memajukan atau merugikan sneiman?

Sejak  awal abad 20, sekitar 1935 seni lukis dalam pengertian fine art telah mati. Istila. Filsuf Walter Benjamin meramalkan tak ada yang otentik lagi. Lukisan dikenal hari ini sebagai karya visual art.

Tentu saja dunia digital lebih menantang eksplorasi medium dan ide bagi seniman, ini malahan menguntungkan. Yang jelas, Ai di ekspresi seni digital hanya  sekedar alat bantu (medium} teknologi tercanggih, sementara yang “tetap otentik” adalah jutaan pengalaman batin seniman, kemampuan lontaran nalar yang unik yang proses produksinya bisa dibantu AI.