ADVERTISEMENT

Busana Pria: Politik dan Industri

Oleh Bambang Asrini, Pemerhati sosial dan budaya

Berbincang dengan seorang desainer senior, Musa Widyatmodjo cukup menarik dan menguak memori tentang busana pria yag dimaknai dalam sejarah. Selain keberadaanya dalam memotret transformasi sosio-kutural. Dalam perbincangan santai bersama sejumlah jurnalis di pembukaan sebuah butik busana pria, SeffiroRicci di kawasan BDS, Serpong, Musa menantang ingatan kita tentang penanda maskulinitas dalam rancang busana dan tegangan sosio-kultural di masyarakat.

Dialog siang itu menjadi menarik tatkala desainer kita yang berkesempatan mendesain jubah (kasula) untuk Pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus dengan wastra Nusantara tahun lalu membuka dialog bagaimana pria sejatinya adalah “pesolek”. Pengertian pesolek, menjadi demikian majemuk perspektifnya tak hanya berlabuh maknawinya pada mereka yang gemar merias diri. Lebih dari itu, jika kita membawanya dalam sejarah bagaimana para penguasa –tentu saja laki-laki–, diandaikan dalam pencitraan dirinya menyesuaikan status-sosial, sebagai mahluk non-domestik pada zaman tertentu.

Laki-laki juga ditunggu kontribusinya, misalnya dalam kekuasaan politik yang bahkan tak terbatas dan simbol-simbol dari busana yang dikenakan. Fesyen dengan demikian adalah produk budaya yang menyebadan dengan manusia dalam seluruh peran “laki-laki” di wilayah publik dan tak jatuh sebagai sebuah penanda gaya hidup.  Sebagai contoh, Firaun atau Pharaoh penguasa Mesir Kuno, dianggap memiliki seni merancang pencitraan atas “psikosis waham kebesaran” yang dimilikinya.

Para perancang ternama Istana sedemikian rupa mengonstruksi perhiasan, topeng, rambut dan seluruh aksesori tubuh yang semaksimal mungkin mempersentasikan dirinya layaknya dewa-dewa. Mitos kemudian dibuat senyata mungkin, laki-laki dipersiapkan menjadi selalu tampil menawan tapi berkuasa.

Ini yang kemudian pada perang dunia ke-II, Karl Diebitsch, seniman sekaligus tentara Schutzstaffel (SS) berkolaborasi dengan perancang legendaris Hugo Boss memproduksi seragam bagi pasukan-pasukan Partai Nazi Jerman. Rancangan Hugo Boss ini jauh dibanding tentara sekutu Amerika pun Rusia yang terkesan seadanya dan kucel. Tentara SS dianggap lebih disiplin, gagah pun berwibawa dan ini: angker!

Pada saat sama, kembali pada sejarah, peran perempuan kemudian mengemuka sederajat dengan lakilaki—yang desainer kita, Musa menyebut sebagai perempuan berkesadaran memakai busana ber-jas (jas laki-laki dipakai wanita selain celana panjang menggantikan rok), bahwa wilayah domestik ditinggalkan.

Kronik abad ke-20 dengan fenomena gerakan feminisme terutama realitas revolusi Industri di Inggeris mengubah segalanya. Wanita tampil ke publik dan magnit keterpesonaan dan kuasa busana demikian pula politik ada di tangan wanita di dunia Barat dan diekspor keseluruh dunia di era globalisasi. Desainer Musa juga sangat menarik dalam kesempatan bincang-bincang itu mengatakan bahwa industri fesyen kita berjalan seadanya kalau tak dibilang masih pada tataran UMKM. Ia memberi metafora tentang “industri rumahan” dengan selera konsumen pun perancang busana yang sama-sama belum berkembang secara progresif.

Musa mengibaratkan sebagai industri fesyen kita melebar kekiri dan kanan, sebagai industri yang berbasis transaksional belaka, bukan meninggi, mengerucut secara kualitas. “Konsumen kita, rerata selalu menimbang nilai sebuah busana jatuh pada sebuah harga-materiil, nyaman dipakai dan indah tanpa representasi kualitas yang mencerminkan siapa yang mengenakan dan untuk apa busana itu memberi simbol?” ujarnya. “Sementara para desainer kita seringkali mengamini” tegasnya.

Bincang-bincang menarik ini, diimbuhi oleh pernyataan seorang brand consultant dari DM Fashonably Branding & Upgrading, Dwi Sutarjantono.  Ia sempat menjadi tim khusus branding seorang Gubernur dengan menimbang seksama saat busana dikenakan. “Busana pria tak lagi sekedar sambil lalu disiapkan. Momen-momen krusial wajib diinisiasi dengan dengan cermat di seremoni-seremoni Tanah Air yang mana pejabat publik tampil secara optimal” ujar Dwi.

Maka tak aneh, realitas hari ini, selebaran (flyer) dan baliho-baliho di tahun politik disodorkan dengan narasi pun imej yang seadanya. Bahkan terkesan mengotori ruang publik. Fesyen sejatinya sebuah sikap politik, bagaimana manusia merepresentasikan dirinya diwilayah komunal, untuk menciptakan pengaruh—sebuah persepsi publik pada dirinya, menggunakan jejak kekuasaan atas sang liyan tentu dengan cara yang elegan.

Nampaknya, disana ada celah tim sukses Calon Presiden 2024 merekrut para perancang busana dan bagaimana ia mempengaruhi persepsi publik. Bambang Asrini Pemerhati sosial dan budaya